Friday 13 March 2015

Jangan Berlebihan Menyanjung UJE | Jangan Berlebihan Menyanjung Uje

Bab Empat 

Jangan Berlebihan Menyanjung UJE

Sekarang kita sampai di Bab Utama naskah ini. Bab ini bisa dibilang inti atau Pembahasan Utama dalam naskah singkat ini. Awal Ramadhan 1434 H kemarin Penulis mengikuti kursus komputer gratis yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga kursus di Yogyakarta. Salah satu guru teknisi komputernya bernama Edi (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda dewasa yang usianya 3-4 tahun di bawah Penulis, sekitar 30-31 tahun. Siang itu, setelah kursus, Penulis dan Edi mendapat kesempatan untuk berduaan. Saat itulah kami berbincang banyak tentang almarhum Ustadz Jefry Al-Bukhari. Sang Guru Penulis bertutur:


“Menurut saya, masyarakat Indonesia sekarang ini sudah berlebihan menyanjung Uje. Harusnya media massa jangan meliput keluarganya lagi. Harusnya infotainment jangan menyorot lagi keadaan Pipik, istrinya, atau Ummi Tatu, ibunya. Harusnya keadaan keluarga almarhum ditutup saja, dianggap selesai, jangan terus-terusan disorot atau dijadikan berita. Kalau masyarakat Indonesia terus-terusan begini, nanti bisa berlebihan dalam menyanjung Uje. Kalau sudah berlebihan, nanti dikuatirkan bisa MELEBIHI PENGAGUNGAN ATAU PENGHORMATAN KITA TERHADAP RASULULLAH SAW.”

Demikianlah komentar guru komputer Penulis. Sebuah komentar yang cukup penting untuk kita renungkan. Sebuah komentar yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah komentar yang membuat Penulis tersentak dan terinspirasi untuk membuat naskah ini. Penulis pun merenungkan komentar di atas dengan mendalam, terutama kalimat yang berbunyi: “Kalau sudah berlebihan, nanti dikuatirkan bisa MELEBIHI PENGHORMATAN KITA TERHADAP JUNJUNGAN BESAR KITA, NABI MUHAMMAD SAW.”

Penulis setuju dengan pendapat di atas. Walaupun mungkin tidak seratus persen benar, pendapat di atas bisa dijadikan bahan koreksi diri masyarakat kita, terutama bagi para penggemar beratnya Ustadz Jefry. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw bersabda: “Belum beriman* salah seorang dari kalian sampai aku lebih kalian cintai dari anaknya, kedua ortunya dan seluruh manusia.”

*Catatan Kaki: Maksudnya, belum sempurna imannya.

Namun Penulis juga mohon maaf kalau ada dari pembaca yang sakit hati, atau bahkan marah, terutama bagi para pembaca yang fans beratnya ustadz yang meninggal pada usia empat puluh itu. Yang namanya kebenaran dan kebaikan, seberat atau sesakit apapun, harus kita terima dan kita kerjakan. Namun kita juga harus yakin dengan kemurahan Allah. Jika kita sudah melaksanakan kebenaran yang terasa berat itu, Insya Allah kita akan mendapat kemudahan. Kalau kita sudah berhasil mengerjakan kebenaran yang berat itu, Insya Allah kita akan merasa nikmat.

Bagi kita yang Muslim, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjadikan Baginda kita yang mulia, Rasulullah Muhammad Saw sebagai contoh dalam segala kebaikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menjadikan Rasulullah Saw sebagai sosok yang paling kita cintai. Jika kita belum mencintai Rasulullah, atau masih lebih mencintai sosok lain, kita harus berusaha keras untuk mencintai beliau dengan sepenuh hati. Caranya? Ya kita harus membersihkan hati kita. Kita harus mensucikan jiwa kita dari segala macam kotoran syirik dan maksiat. Dengan jiwa yang bersih, Insya Allah kita bisa mencintai Rasulullah Saw. Dengan jiwa yang bersih, Insya Allah kita bisa menjalankan sunnah-sunnah beliau dengan mudah.

Mungkin ada di antara pembaca yang menganggap pendapat guru Penulis di atas sudah berlebihan. Hal itu tidak apa-apa karena setiap orang punya pendapat dan cara pandang sendiri-sendiri. Makanya itu, Penulis bilang kalau pendapat di atas mungkin tidak seratus persen benar. Penulis juga yakin kalau guru komputer Penulis itu tidak membenarkan ucapannya dengan mutlak. Hal itu dapat dilihat dari kalimat yang berbunyi: “...nanti dikuatirkan bisa MELEBIHI PENGHORMATAN KITA TERHADAP RASULULLAH SAW.” Kalimat: “Nanti dikuatirkan...” menunjukkan makna tidak atau belum pasti. Kalimat ini menunjukkan makna harus waspada atau hati-hati terhadap sesuatu yang akan terjadi.

***** 

Kita boleh bersedih ketika ditinggal orang yang kita cintai. Kita boleh menangis ketika ditinggal orang yang kita sayangi, sebab itu bentuk kasih sayang kita kepada orang tersebut. Yang tidak boleh hanya satu: Sedih berlebihan atau berlarut-larut. Contoh sedih yang berlebihan: Menangis keras, histeris, berteriak, meraung-raung, atau bahkan membanting sesuatu. Setelah orang yang dicintainya dikubur, ia seperti orang linglung selama beberapa waktu. Ia sering menyendiri dan melamun di tempat sepi. Selama beberapa hari atau beberapa minggu ia puasa bicara dan tidak selera makan, atau tetap makan tapi cuma sedikit.

Sedangkan yang tegar dan ikhlas ketika orang yang dicintainya dipanggil Allah, ia tidak akan menangis keras atau sesenggukan di depan umum, khususnya di depan para takziyah. Ia hanya menangis wajar, menangis pelan, mata berkaca-kaca, tidak mengeluh, lebih banyak diam, dan bibirnya terus berkomat-kamit karena ber-dzikir. Ini menunjukkan kalau ia sedang berusaha ikhlas menerima takdir Allah SWT. Atau bagi yang lebih tegar lagi, ia sama sekali tidak menangis. Ia berusaha untuk tidak menangis di depan umum (para takziyah). Hanya wajahnya yang terlihat sedih, namun ia tetap berusaha untuk tersenyum dan bicara ketika ditanya orang.

Dalam sebuah hadits shahih diterangkan, ketika Ibrahim putra Rasulullah Saw wafat, Usamah bin Zaid berteriak. Rasulullah pun menegurnya, “Yang demikian bukanlah ajaranku. Orang yang berteriak itu tidak dibenarkan agama. Hati ini memang sedih, juga kedua mata menangis, namun tidak sampai membuat Allah murka.”

Perhatikan hadits shahih di atas. Rasulullah Saw tidak melarang umatnya bersedih ketika seseorang yang dicintainya meninggal. Rasulullah Saw hanya melarang umatnya bersedih berlebihan dan berlarut-larut. Dalam hadits shahih yang lain juga diterangkan, ketika Rasulullah Saw menggendong seorang bayi yang hendak meninggal, beliau meneteskan air matanya, tanda kasih sayangnya pada bayi tersebut. Di tempat itu juga hadir Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal dan Ubai bin Ka’ab. Melihat Rasulullah Saw meneteskan air matanya, Sa’ad bin Ubadah bertanya, “Apa ini, wahai Rasulullah?”, seolah dia berkata: “Padahal selama ini engkau sendiri yang melarang menangisi mayat.” Rasulullah Saw menjawab, “Sesungguhnya ini rahmat yang Allah letakkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki. Sesungguhnya Allah hanya akan mengasihi hamba-hamba-Nya yang saling menyayangi.”

Dalam hadits shahih yang lain, Jabir bin Abdillah r.a berkata, “Ketika ayahku gugur dalam perang Uhud, aku membuka penutup mukanya, lalu menangisinya. Para sahabat melarangku, namun Rasulullah Saw membiarkan. Hal itu membuat bibiku Fatimah menangis. Rasulullah Saw pun bersabda, “Engkau menangis atau tidak, malaikat terus menaunginya dengan kedua sayapnya, sampai kalian mengangkatnya.”

Dalam riwayat shahih yang lain, Rasulullah Saw menangisi kepergian Ibrahim, putra beliau yang masih kecil. Melihat beliau menangis, Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Nabiyullah, engkau menangis..?” Sang Nabiyullah menyahut, “Wahai Putra Auf, sesungguhnya ini rahmat yang kemudian diikuti yang lain. Sesungguhnya mata mencucurkan air dan hati menjadi sedih, dan kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah, Rabb kita. Wahai Ibrahim, kami sangat sedih berpisah denganmu.”

Perhatikan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: “..Mata meneteskan air dan hati menjadi sedih, dan kita tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah.”

Ketika kita bersedih, banyak di antara kita yang mengumpat atau mengucap kata-kata kotor. Hal itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Ketika kita sedih berat, kita boleh mengeluh atau merintih, namun rintihan kita harus yang Islami. Rintihan yang keluar dari lisan kita harus kalimat-kalimat yang bagus, syukur yang kita ucapkan doa dan dzikir. Inilah sedih yang diperbolehkan syariat. Sikap seperti inilah yang seharusnya dimiliki seorang Muslim.

Alhamdulillah, kata kebanyakan orang, Penulis termasuk orang yang tegar dan ikhlas ketika ditinggal orang yang Penulis cintai. Hari Jumat tanggal 8 Juli 2011, ayah kandung Penulis dipanggil Allah SWT karena sakit jantung yang sudah dideritanya cukup lama. Alhamdullah, beliau dipanggil Allah pada hari Jumat, hari suci dan hari terbaik. Siangnya beliau masih jum’atan, dan sorenya beliau masih ngimami sholat Ashar di masjid. Sehabis Ashar, ketika beliau beristirahat di ranjang, beliau sedikit merintih, mengeluhkan dadanya yang sesak. Beberapa detik kemudian beliau menghembuskan nafas terakhirnya seperti orang mau tidur. Subhanallah.

Sama dengan Ustadz Jefry Al-Bukhari rahimahullah. Ustadz berkaca mata itu juga meninggal pada hari Jumat dini hari. Selain itu, ayah Penulis juga diantar orang banyak, sampai perumahan tempat tinggal Penulis sesak. Banyak takziyah yang langsung ke makam karena tempat tinggal Penulis dipenuhi ratusan orang. Memang tidak sebanyak yang melayat Uje, tapi setidaknya Penulis boleh merasa bangga karena cukup banyak orang yang mencintai ayah kandung Penulis. Setelah ayah Penulis berangkat ke alam abadi, banyak juga orang yang merasa kehilangan beliau, hampir sama dengan rasa kehilangan masyarakat kita terhadap kepergian Uje. Semoga Uje dan ayah Penulis sama-sama mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Aalamin.

Yang lebih mengagumkan bagi Penulis, Jumat malam atau malam Sabtu, ketika jenazah ayah Penulis dibawa ke rumah, setelah sebelumnya dibawa ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Jl Ahmad Dahlan, Yogyakarta, ibunda Penulis terlihat sangat tegar dan sudah ikhlas. Sore itu, menjelang Maghrib, Penulis melihat Ibu yang turun dari ambulance. Penulis mengamati wajah beliau dengan cermat. Beliau hanya terlihat sedih sedikit. Beliau tidak menangis sedikit pun. Kedua mata beliau tidak basah. Beliau terlihat sudah ikhlas menerima takdir-Nya. Subhanallah. Allahu Akbar. Jujur saja. Satu-satunya orang yang pernah Penulis lihat, yang begitu tegar dan ikhlas ketika suaminya dipanggil Allah, tidak lain dan tidak bukan adalah Ibunda Penulis. Sabtu paginya Ibu tidak ikut mengantar jenazah ayah ke peristirahatan terakhir. Mungkin Ibu sadar kalau nanti ikut ke makam, ada kemungkinan Ibu tidak kuat, dan kalau tidak kuat, ada kemungkinan nanti bisa sedih berlarut-larut, dan kalau sedih berlarut-larut, nanti arwah ayah bisa tidak tenang.

Makanya itu, Penulis cukup miris melihat Pipik pingsan di peristirahatan terakhir Uje. Kalau Pipik memang tidak kuat karena sedih sekali, harusnya dia tidak usah ikut mengantar jenazah suami tercintanya, karena biar bagaimanapun, tabiat wanita itu lembut, mudah sedih dan terharu. Wanita setegar apapun, tetap lebih mengutamakan perasaan di atas akal. Jujur saja, kalau menurut Penulis, wanita atau pria yang sampai pingsan di depan makam ayah, ibu, suami, istri atau saudaranya, sudah termasuk meratap berlebihan.

Dalam sebuah hadits shahih, Baginda kita yang mulia bersabda: “Sesungguhnya arwah si mayat disiksa karena ratapan keluarganya kepadanya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Si mayat disiksa di dalam kuburnya karena ratapan keluarganya.”

Dalam riwayat lain, Anas bin Malik R.A berkata, “Ketika Umar bin Khattab R.A tertikam, Hafshah (putrinya), menangisinya dengan suara keras. Umar pun berkata kepadanya: ‘Wahai Hafshah, tidakkah engkau mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Orang yang diratapi itu disiksa.‘ “. Dalam riwayat lain juga diterangkan, ada empat kebiasaan jahiliah yang masih dilakukan umat Muhammad Saw, yang sampai sekarang belum ditinggalkan. Empat kebiasaan itu ialah: 1. Membanggakan keturunan. 2. Mengingkari keturunan. 3. Minta turun hujan dengan ramalan bintang. 4. Meratap.

Ada juga riwayat lain tentang dua hal yang ada pada manusia, yang keduanya menyebabkan mereka kafir, yaitu: Mengingkari keturunan dan Meratapi kematian. Meratap di sini maksudnya meratap yang dilakukan berlebihan atau berlarut-larut, yang bentuk-bentuknya sudah Penulis jelaskan di atas.

Jadi intinya, syariat Islam mengijinkan kita menangis atau meratap, namun meratapnya yang Islami, bukan yang jahiliah. Meratapnya yang masih terkendali, bukan meratap yang sampai menggelapkan hati dan akal. Dalam hal ini junjungan besar kita telah mencontohkan sendiri. Beliau mencontohkan kepada kita agar kita bersikap khusyuk (tenang) dalam menghadapi kesedihan seberat apapun, termasuk kesedihan karena ditinggal orang yang kita sayangi. Beliau bersedih ketika si kecil Ibrahim meninggal, bahkan beliau juga menangis, namun tangisan beliau hanya bentuk kasih sayangnya kepada anak. Beliau bersabda,

“Mata ini menangis dan hati menjadi sedih. Oleh karena itu, kita jangan mengucapkan kecuali apa yang diridhai Allah.” Namun bukan berarti kita harus menangis. Kita tidak bisa menjadikan dalil di atas sebagai keharusan bagi kita untuk meneteskan air mata. Kalau kita bisa menahan air mata kita untuk tidak tumpah di depan umum, ya sebaiknya kita lakukan, sebab hal itu juga menjadi wujud keridhaan kita terhadap takdir Allah SWT. Baginda kita yang mulia juga telah mencontohkan hal itu. Setelah beliau menangisi kepergian Ibrahim kecil dengan tangisan sekedarnya, beliau tersenyum. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau bisa tersenyum dalam kondisi seperti ini (padahal beberapa saat tadi engkau menangis)?”. Nabi Saw pun menyahut, “Aku hanya berusaha ridha dan pasrah terhadap semua yang sudah ditakdirkan Allah.”

Lantas bagaimana dengan kaum perempuan atau orang yang tabiatnya lemah, cengeng, mudah terharu atau tersentuh? Bolehkan mereka berziarah kubur? Jawabannya: Bisa boleh bisa tidak. Dalam sebuah hadits shahih diterangkan, dulu Rasulullah Saw melarang kita (kaum Muslimin dan Muslimat) berziarah kubur, namun setelah itu beliau memerintahkan kita untuk berziarah. Alasannya karena berziarah bisa mengingatkan kita pada kampung akhirat.

Mungkin sebagian dari kita ada yang masih menganggap wanita haram berziarah kubur. Pendapat ini terbantah oleh hadits shahih di atas. Hadits di atas menerangkan perintah bagi lelaki dan perempuan, dan tidak ada kalimat yang bermakna khusus untuk lelaki. Untuk lebih menguatkan pendapat ini, kami akan memaparkan hadits-hadits shahih tentang halalnya kaum Muslimat berziarah kubur.

Suatu hari, Abdullah bin Abi Malikah R.a bertemu Aisyah R.a. Abi Malikah bertanya, “Wahai Ummul Mukminin, dari manakah engkau?”. Aisyah menjawab, “Dari kuburan Abdurrahman bin Abi Bakar R.a.” Abi Malikah bertanya lagi, “Bukankah dulu Rasulullah melarang menziarahi kubur?”. Aisyah menjawab, “Betul..namun setelah itu beliau memerintahkan kita untuk menziarahinya.”

Dalam hadits shahih yang lain juga diterangkan, suatu hari Rasulullah Saw lewat di depan kuburan. Beliau melihat seorang wanita yang menangis di atas kuburan. Beliau pun menegurnya dengan bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah..” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Bari-nya: “Pijakan dalilnya ialah Rasulullah Saw tidak mengingkari keberadaan wanita itu di kuburan, dan ketetapan beliau berarti hujah.” Imam Bukhari pun memakai hadits ini dalam Bab Ziarah Kubur. Memang betul. Dalam riwayat di atas Rasulullah Saw tidak melarang wanita itu berziarah kubur. Rasulullah hanya melarang wanita itu meratap berlebihan. Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa kaum wanita dihalalkan berziarah kubur.

Hanya saja, kaum wanita jangan terlalu sering berziarah, hal itu karena mereka bisa berbuat yang menyalahi syariat. Contohnya, meratap sampai histeris, membuka aurat, walaupun tanpa sengaja, menjadikan makam sebagai tempat ngrumpi atau menggunjing, dan sejenisnya. Itulah sebabnya Rasulullah Saw pernah bersabda, “Allah SWT telah mengutuk wanita-wanita yang sering menziarahi kubur.”

Menurut sebagian ulama, sabda Rasulullah Saw di atas muncul sebelum beliau mengizinkan umatnya menziarahi kubur. Sebagian ulama yang lain berpendapat, makruh hukumnya bagi wanita untuk berziarah kubur. Makruh artinya tercela, tidak sampai haram. Hal itu karena kebanyakan kaum hawa sering bersikap di luar kontrol, termasuk meratap berlebihan. Dengan terlalu sering berziarah, otomatis mereka menjadi sering keluar rumah, padahal wanita terbaik dalam pandangan Islam itu wanita yang sering di rumah.

Dengan demikian, bukan hanya wanita yang dimakruhkan, atau bahkan diharamkan berziarah kubur. Kaum pria pun kalau tabiatnya lemah atau cengeng, juga bisa dilarang terlalu sering mengunjungi makam. Sebaliknya, jika ada wanita yang kuat kesabarannya, yang yakin tidak akan berbuat kejahilan apabila nanti ia sudah di makam, maka boleh-boleh saja ia berziarah. Namun untuk wanita, sebaiknya tetap jangan terlalu sering berziarah. Jadi intinya, boleh tidaknya berziarah itu tergantung orangnya. Dan yang lebih penting lagi, tergantung niatnya.

*****

Berdasarkan hadits-hadits shahih yang telah kita bahas, kita bisa menyimpulkan bahwa tujuan utama kita berziarah adalah mengingat kampung abadi (akhirat) alias mengingat mati. Jadi kalau ada di antara kaum Muslimin dan Muslimat yang berziarah kubur dengan tujuan lain, berarti dia sudah menyelisihi syariat. Kalau di antara kita ada yang bertujuan lain dalam berziarah, berarti tujuannya harus diluruskan. Kalau tujuannya yang lain itu tidak sampai haram, tidak masalah, tapi kalau sampai haram, seperti memohon perantara kepada arwah si mayat atau tabarruk (mencari berkah) di sekeliling makamnya, tentu ini sudah tergolong syirik, dan syirik itu dosa besar, bahkan dosa yang terbesar. Kalau yang dilakukan peziarah kubur itu cuma dosa kecil atau makruh (tercela), mungkin masih bisa dimaklumi, tapi kalau yang mereka lakukan sudah termasuk dosa besar, tentu ini menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan saudara-saudara kita sesama Muslim.

Para Pembaca yang budiman, kita sebagai orang Islam, harus sadar bahwa syirik itu musuh bebuyutannya tauhid. Kita harus sadar bahwa syirik itu bentuknya sangat halus, sehingga banyak di antara kita yang sudah melakukannya tanpa sadar. Syirik itu ada yang sepintas terlihat menyenangkan, sehingga pelakunya merasa sedang beribadah. Syirik itu seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di kegelapan malam. Karena itu, wajib hukumnya bagi setiap Muslim untuk mempelajari tauhid secara mendalam, agar bisa membedakan mana yang tauhid dan mana yang syirik. Salah satu bentuk syirik yang sering terjadi di masyarakat kita adalah terlalu berlebihan dalam mengagungkan atau menghormati orang sholeh.

Allah SWT berfirman: “Dan mereka berkata: “Janganlah sekali-kali kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian dan jangan pula kalian tinggalkan (menyembah) Wadd, Suwa, Ya’ghuts, Ya’uq maupun Nasr.” [QS Nuh (71) ayat 23]

Dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, seorang sahabat Nabi yang ahli tafsir, berkata: “Wadd, Suwa,’ Ya’ghuts, Ya’uq dan Nasr itu nama orang-orang sholeh di masa Nabi Nuh. Setelah mereka meninggal, iblis membisikkan ilham kepada kaum mereka agar membuat patung orang-orang sholeh tersebut, dan membuatnya di tempat yang sering mereka pakai untuk berkumpul. Setelah kaum yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama mulai ditinggalkan, patung-patung itu akhirnya menjadi sesembahan.” Dari penafsiran Ibnu Abbas di atas kita bisa menyimpulkan, awalnya kaum Nabi Nuh tidak bermaksud menyembah patung yang mereka buat. Niat mereka hanya ingin mengenang orang-orang sholeh itu. Namun pada akhirnya patung-patung itu menjadi sesembahan mereka. Hal ini menunjukkan dilarangnya bersikap berlebihan, walaupun itu perbuatan baik. Dengan mendirikan patung, mereka telah membuat perantara menuju kesyirikan, walaupun yang mereka buat itu patungnya orang-orang sholeh. Dalam sebuah hadits shahih Nabi Saw bersabda: “Tinggalkanlah sikap berlebihan, karena tidaklah umat sebelum kalian binasa kecuali karena sikap berlebihan.”

Jika kita perhatikan kaum Muslimin di sekitar kita, masih banyak dari mereka yang kurang perhatian terhadap ilmu tauhid, bahkan meremehkannya dengan berkata: “Buat apa kita belajar tauhid terus? Umat Islam sekarang ini sudah bertauhid. Mereka lebih butuh belajar fikih, politik Islam dan akhlak.” Padahal Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, Sang Khalil (Kekasih Allah) saja masih berdoa agar dijauhkan dari kesyirikan, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Nabi Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala.’ “ [QS Ibrahim (14) ayat 35]

Perhatikanlah. Nabi Ibrahim yang Bapak Tauhid saja masih memohon perlindungan kepada Allah dari kesyirikan, apalagi cuma kita yang lemah iman, ilmu dangkal dan banyak dosa. Seperti yang sudah kami sebutkan di depan, banyak di antara umat Islam yang berbuat syirik tanpa mereka sadari. Hal itu karena mereka belum sadar kalau syirik itu sangat halus. Banyak di antara kaum Muslimin yang menyembah orang-orang sholeh. Diantaranya dengan menyembah kuburannya, patungnya, berdoa di sisinya, mencari berkah di sekitar makamnya, dan lain-lain.

Padahal ibadah itu perkara yang hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT. Kalau perbuatan itu memang diajarkan syariat, tentu para sahabat sudah mencontohkannya. Kalau perbuatan itu memang ada dalilnya, tentu para sahabat sudah lebih dulu melakukannya. Kenapa begitu? Ya karena mereka jauh lebih menaati Rasulullah Saw dibanding kita. Tingkat keimanan dan ketakwaan mereka jauh di atas kita. Namun kenyataannya, tidak ditemukan satu pun riwayat shahih yang menerangkan mereka melakukan hal itu.

Jika kita masih menggunakan akal sehat, kita akan sadar kalau para musyrikin atau pelaku syirik itu benar-benar bodoh. Kita akan sadar kalau orang-orang yang menyembah selain Allah itu seperti sudah kehilangan akal. Kita akan sadar kalau orang-orang musyrik* itu telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani mereka. Di dalam surat Al-A’raaf, surat ke 7 ayat ke 191-192 Allah SWT berfirman: “Apakah mereka menyekutukan (Allah) dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan apapun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri hanya sesuatu yang diciptakan, dan berhala-berhala itu tidak mampu menolong para penyembahnya, bahkan ia tidak dapat menolong dirinya sendiri.” *Catatan Kaki: Syirik itu nama sifatnya, sedangkan pelakunya disebut Musyrik. Pengertian ini sama dengan Islam. Islam itu agamanya, sedangkan orang yang memeluknya disebut Muslim atau Mukmin. Kalau perempuan Muslimah atau Mukminah.

Pada ayat yang mulia ini Allah SWT menunjukkan kelemahan-kelemahan sesembahan yang disembah selain Allah. Setidaknya ada empat kelemahan. Pertama, sesembahan atau berhala itu tidak dapat menciptakan apapun, sebab Yang Maha Menciptakan segalanya hanyalah Allah SWT. Kedua, sesembahan tersebut hanya sesuatu yang diciptakan. Tentu akal sehat akan berkata kalau yang menciptakan pasti lebih hebat atau lebih berkuasa dari yang menciptakan. Kita lihat jagat raya yang begitu indah dan sempurna. Tentu penciptanya lebih sempurna. Ketiga, sesembahan tersebut tidak dapat menolong para penyembahnya. Keempat, jangankan menolong para penyembahnya, menolong dirinya sendiri saja tidak bisa.

Namun anehnya, masih banyak di antara kita yang meyakini adanya kekuatan atau kekuasaan selain Allah. Masih banyak di antara yang menganggap bahwa di belahan bumi ini ada sosok yang bisa ikut menentukan ketenangan atau kekacauan alam. Contohnya, kalau gunung sedang meletus, sebagian besar atau sebagian kecil di antara kita beranggapan, hal itu karena eyang atau gusti penjaga gunungnya lagi marah. Contoh yang lain, kalau sedang terjadi gempa bumi yang berasal dari laut, atau ombak laut menghantam para pengunjung pantai, sebagian dari kita beranggapan, itu karena ratunya laut selatan lagi marah. Kenapa marah? Karena kita lupa memberi sesaji.

Padahal segala yang terjadi di seluruh alam ini hanya atas kehendak-Nya. Kalaupun sosok-sosok misterius itu memang ada, entah itu makhluk halus/ jin atau manusia yang belajar ilmu ghaib/ tenaga dalam/ santet, mereka tidak akan bisa berbuat sejauh itu. Kalaupun sosok-sosok yang dianggap keramat itu memang bisa berbuat sesuatu, mereka tidak akan sanggup berbuat sehebat itu. Kalaupun di pantai selatan memang ada penunggunya, dia tidak akan sanggup membuat gempa bumi. Kalaupun penunggunya yang terkenal dengan sebutan ‘Nyi Roro Kidul’ itu memang ada, dia tidak akan bisa menggerakkan ombak laut untuk menyambar para pengunjung pantai. Begitu juga dengan penghuni gunung, lembah, sungai atau danau. Jika sosok penjaga gunung itu memang ada, dia tidak akan sanggup meletuskan gunung. Mungkin dia memang bisa berbuat begini dan begitu, namun dia tidak akan sanggup berbuat sedahsyat itu.

Inilah contoh syirik besar secara umum. Sedangkan syirik kecil secara umum contohnya, memakai gelang, kalung atau cincin yang kita anggap memiliki kekuatan. Kalung atau cincin yang kita pakai itu kita jadikan sandaran atau penentu sukses tidaknya usaha kita. Kalung atau gelang yang kita pakai itu kita jadikan sandaran untuk membantu kita menyelesaikan semua masalah yang kita hadapi. Jadi kalau kita sedang menghadapi masalah, lalu kita lupa memakai kalung atau gelang ‘sakti’ tersebut, kita akan merasa sial. Kita akan menganggap bahwa masalah yang akan kita hadapi itu tidak bisa selesai. Padahal yang akan menyelesaikan semua masalah kita hanya Allah SWT, Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sedangkan kesialan atau keburukan yang sering kita alami itu karena diri kita sendiri dan bisikan setan.

Beginilah contoh syirik besar dan kecil secara umum. Namun syirik itu maknanya luas, seperti yang sudah kami bahas di depan. Syirik itu ada yang sepintas terlihat menyenangkan, sehingga banyak dari kita yang melakukannya tanpa sadar. Syirik itu bukan sekedar tidak menyembah Allah atau mengakui adanya kekuatan selain Allah. Berlebihan mencintai sesuatu itu bisa tergolong syirik. Kita sangat mencintai sesuatu, entah itu harta, pangkat, perempuan, anak, dan nikmat dunia yang lain, sehingga kita menjadi lupa pada Allah SWT. Kita sangat mencintai perempuan, harta atau kepopuleran, sehingga menyamai kecintaan kita kepada Allah SWT, bahkan bisa melebihi, sebagaimana kisah percintaan tragis yang sudah kami beberkan di bab: Tidak Berlebihan Mencintai atau Membenci Sesuatu.

*****

Kisruh Makam Uje

Para pembaca yang budiman, khususnya bagi para penggemar almarhum Ustadz Jefry, tentu sudah mendengar berita tentang kekisruhan atau kegemparan makam beliau yang dipugar. Bentuk makam Uje yang awalnya sederhana, hanya berupa gundukan tanah dengan rerumputan hijau, sekarang menjadi setinggi pinggang orang dewasa. Makam yang awalnya sederhana itu sekarang menjadi mewah berkat nisan marmer hitam yang menghias di atasnya. Dalam bab ini Penulis hanya akan menyampaikan informasi yang Penulis dapat dari internet, juga majalah C & R dan majalah Nyata.

Meninggalnya Ustadz Jefry Al-Bukhari menjadi pemicu perselisihan paham antara Umi Tatu Mulyana, ibunda almarhum, dan Pipik Dian Irawati, istri almarhum yang telah memberi almarhum empat buah hati. Meskipun keduanya membantah sedang tidak akur, publik tetap meyakini hubungan menantu dan mertua itu sedang retak. Keretakan hubungan mereka semakin tajam setelah pemugaran makam Uje.

Sebelum kisruh soal pemugaran makam Uje, hubungan menantu dan mertua itu memang kurang baik. Alasannya karena Umi Tatu mengaku pernah diteror Pipik lewat pesan pendek. Pesan itu dikirim ke adik kandung Uje untuk disampaikan ke Umi Tatu. Ibunda Uje itu tidak menyangka Pipik bisa mengirim SMS yang tidak baik. Umi Tatu dituduh ujung-ujungnya materi, kepopuleran, atau kenikmatan dunia jenis apapun. Setelah mendapat SMS itu, Umi Tatu memilih menghindari Pipik karena takut terpancing emosi. Apalagi setelah itu Umi juga mendapat pesan pendek dari Abizar, putra kandung Pipik dan Uje.

Dalam SMS itu Abizar berkata: “Umi kok bangun kuburan Abi nggak bilang-bilang!? Itu lebay (berlebihan)!” Tentu saja Umi Tatu terkejut setelah membaca pesan pendek tersebut. Beliau kecewa dan sedih. Beliau bertutur, “Siapa yang ngajarin Abizar ngomong begitu? Anak yang biasanya sopan itu sekarang berani SMS seperti itu.” Beliau pun berkata dalam batin, “Kalau dilogis, anak yang masih polos begitu tidak mungkin bisa SMS seperti itu.”

Umi Tatu juga kecewa melihat Pipik yang tidak jujur atas keberatannya terhadap pemugaran makam Uje. Umi berkata, “Kenapa Pipik tidak ngomong langsung kalau dia keberatan terhadap pemugaran makam suaminya? Kenapa dia lebih memilih curhat ke media? Bukankah itu malah membuka aib keluarganya sendiri? Kalau dia memang tidak ingin makam Uje dipugar, dia bisa ngomong sama kami, nanti bisa kami bicarakan dan kami selesaikan baik-baik.”

Namun Pipik membantah telah meneror mertuanya dengan pesan pendek di atas. Pipik juga enggan menanggapi kalimat keras yang dilontarkan Ustadz Aswan, kakak kandung Uje, yang menganggap Pipik sudah membujuk masyarakat untuk membenci Umi Tatu. Soal pemugaran makam Uje yang semula sederhana menjadi megah, Pipik juga memilih diam. Ia hanya mengakhiri kegundahan hatinya dengan ucapan, “Kita hanya berdoa, semoga semua ini jadi yang terbaik.” Demikianlah sedikit gambaran tentang perselisihan dua wanita terdekat Uje. Mana yang lebih benar? Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui segalanya.

*****

Yohana, wanita 42 tahun yang berdagang pernik-pernik bergambar Uje, menjadi saksi pemugaran makam Ustadz Jefry Al-Bukhari.. Ia sempat terkejut melihat beberapa orang yang mengusung cungkup marmer hitam ke makam ustadz ganteng bersuara indah itu. Hanya dalam dua hari, makam yang semula berupa tanah yang dibatasi kayu itu berubah menjadi indah. Makam itu terlihat lain dari yang lain. Makam itu terlihat paling mentereng dari semua makam yang ada di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Karet Bivak, Kelurahan Karet Tengsin.

Setelah makam Uje menjadi megah, jumlah peziarah semakin membludak, terutama hari Sabtu dan Minggu. Hal itu sangat menggembirakan Yohana yang mengaku kecipratan rejeki. Ya tentu saja. Dengan membludaknya para peziarah, otomatis dagangannya yang berupa pernik-pernik bergambar Uje menjadi laris. Ia berkata, “Lumayan, bisa buat nambah jajan anak-anak.”

Lantas siapa donatur cungkup marmer itu? Menurut Yohana, donaturnya pengusaha marmer yang tempat tinggalnya tidak jauh dari makam. Namun sejak pro-kontra pemugaran makam meledak, si penyumbang seolah lenyap ditelan bumi. Yohana berkata, “Katanya sih, pulang ke Kalimantan, kampung halamannya. Sesudah memasang marmer dia tidak pernah ke sini lagi.” Sang donatur mengaku sebagai penggemar beratnya Uje. Melihat makam Uje yang ala kadarnya, ia tergerak untuk merapikan. Menurut Ustadz Aswan, sebelum memasang marmer di makam Uje, pengusaha marmer itu sudah minta ijin pada Umi Tatu dan Pipik, namun selanjutnya publik tahu kalau Pipik merasa tidak dihargai, tidak dihargai karena pemugaran makam itu dilakukan tanpa ijinnya. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat antara Umi Tatu dan Pipik. Pipik sendiri hanya berusaha memegang ucapan Uje. Uje pernah bilang kalau besok ia ingin dimakamkan dengan sederhana. Ia ingin makamnya hanya gundukan tanah dengan rerumputan hijau di atasnya.

Dengan demikian, niat baik pengusaha marmer itu malah mengecewakan Pipik. Namun Umi Tatu tidak mau ambil pusing. Ia memang sengaja tidak memberi tahu Pipik. Alasannya karena tidak ingin merepotkan Pipik. Umi Tatu bertutur, “Mending tinggal terima semuanya, beres.” Menurut Ustadz Aswan, ada pembisik-pembisik Pipik yang membuat suasana menjadi panas. Komentar-komentar yang bersifat merendahkan Umi Tatu pun bermuncuulan. Kakak Uje itu berkata, “Mudah-mudahan Allah meluruskan hati mereka, karena kalau pernyataan-pernyataan yang muncul bersifat keluhan, atau bahkan keberatan tanpa dalil yang jelas, hal itu bisa menimbulkan petaka bagi umat.”

Puncak kesedihan Aswan terjadi saat membawa komentar yang membawa-bawa makam Rasulullah Saw. Aswan bertutur:

“Sebagai anak, saya sedih melihat Ibu dicaci maki..tapi lebih sedih lagi ketika makam Rasul dibawa-bawa. Saya bilang, kondisi makam sudah tidak bagus. Umi juga bingung dan nangis. Tapi akhirnya kami putuskan untuk mengalah. Silahkan kalau makam itu mau dihancurkan atau dibiarkan. Yang terpenting setelah ini semua pihak harus diam, jangan menjadikan masalah keluarga kami ini sebagai ladang berita bagi media manapun.”

*****

Komentar Ustadz Aswan Tentang Makam Uje

Aswan Faisal, begitulah nama lengkap kakak tertua Uje itu. Posturnya cukup gagah, usianya kira-kira empat puluh lebih sedikit, beberapa tahun di atas Uje. Ketika Uje masih ada, sosoknya belum pernah terlihat. Setelah Uje pergi untuk selamanya, barulah sosoknya sering nongol di layar kaca maupun media cetak. Berikut kami sampaikan komentar Ustadz Aswan Faisal tentang kegemparan makam adiknya. Judulnya:

Belum Ada Rencana Bongkar Makam.

Ustadz Aswan bertutur, “Sebetulnya tidak ada keributan atau perselisihan antara Umi sama Mbak Pipik. Yang seolah menjadi gempar itu karena Mbak Pipik mengungkapkan keberatannya kepada media. Padahal saat kami lakukan pendekatan, istri almarhum sudah bilang ikhlas kalau makam almarhum dibongkar, tapi saat bilang ke media, dia seperti tidak atau belum rela. Ini kan aneh.”

Ini yang saya bilang ke media kalau dia tidak memberi edukasi atau pendidikan kepada masyarakat. Dia bilang, makam tidak boleh dibangun dengan ubin. Allah tidak suka hal-hal yang terlalu mewah. Padahal seharusnya jangan diterjemahkan seperti itu. Kalau kita berziarah ke makam wali besar, makam tersebut pasti rapi. Hal itu bukan untuk si wali, tapi untuk para peziarah agar bisa duduk dengan nyaman. Terus kemarin ada tenda di makam Uje. Hal itu juga diprotes. Katanya Uje sudah tidak perlu tenda lagi. Uje sudah mendapat balasan yang sesuai dengan amalan yang ia tebar.” Padahal keberadaan tenda itu bukan menunjukkan Uje ingin bermewah-mewah. Keberadaan tenda itu bukan menunjukkan Uje tidak tawadhu atau rendah hati. Misalkan Uje pernah bilang kalau makamnya kelak dibuat yang sederhana saja, hanya berupa gundukan tanah dengan rerumputan hijau di atasnya, itu tidak bisa langsung kita artikan sebagai amanah beliau. Itu hanya menunjukkan sifat rendah hati beliau.”

Kemarin ada orang-orang dari keluarga kesultanan Banten. Mereka mengaku siap membentuk panitia. Mereka siap memberi fasilitas agar para peziarah yang mengunjungi makam Uje bisa merasa nyaman, soalnya ada peziarah yang datang dari luar Jakarta. Waktu saya bilang, ‘Bisa saja makam itu dipugar atau dihancurkan,’ puluhan SMS masuk ke ponsel saya. Mereka semua bilang: ‘Jangan ganggu makam almarhum!’ “

Lalu kenapa timbul ide memugar makam Uje? Ceritanya begini. Setiap kali berziarah, kita lihat makam itu kotor, tidak terawat, ditambah bunga-bunga busuk di atasnya. Kebetulan ada donatur yang mau membangun, dan donatur itu sudah minta ijin kepada istri almarhum. Memang biasanya pemugaran makam dilakukan setahun setelah meninggal, namun melihat kondisi makam yang tidak merawat, kami memutuskan untuk mempercepat pelaksaannya.”

Sekarang kalau masalah ini semakin diperpanjang, orang-orang Kesultanan Banten sudah siap untuk memindah makam Uje ke komplek pemakaman Kesultanan Banten. Bahkan pengasuh pondok pesantren Assidiqiah pun siap melakukan hal yang sama. Mereka akan membangun kubah agar peziarah bisa tenang saat berkunjung, tenang saat berdzikir dan berdoa. Selain itu, pengasuh pengajian Nurul Mustopa juga mendukung agar makam Uje tetap seperti itu. Malam-malam beliau datang ke makam. Sebagai bentuk dukungan agar makam tidak dibongkar, beliau dan puluhan ribu jamaahnya siap melakukan ziarah kubro.”

Tentu saja dukungan ini bukan keinginan saya. Dengan realita seperti ini, harusnya istri almarhum bisa mengerti. Jadi kalau ngomong ke media itu harusnya yang mendidik, bukan malah memprovokasi. Kalau memang bingung mau ngomong apa, ya sebaiknya diam dulu. Lalu soal tanggapan pemerintah, awalnya suku dinas pemakaman pemkot Jakarta Pusat tidak mempermasalahkan, tapi dengan komentar istri Uje, seolah ingin mengadu domba kita.”

Tapi kalau ada yang mau membongkar makam, ya terserah saja, saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Toh Allah yang akan menjaga. Saya pribadi tidak ada rencana untuk membangun makam agar semakin mewah. Makamnya cukup seperti sekarang. Kalaupun ada tambahan, paling cuma pembersihan tanah-tanah di samping makam, biar peziarah bisa semakin nyaman.” Demikianlah komentar Ustadz Awan tentang kegemparan makam sang adik. Jadi intinya, dia belum mau, bahkan mungkin tidak akan mau membongkar makam Uje yang dianggap terlalu mewah oleh Pipik. Kemungkinan besar dia dan Sang Ibu akan mempertahankan bentuk makam Uje yang sekarang. Namun menurut berita terakhir yang Penulis peroleh, hubungan Pipik dan mantan mertuanya sudah membaik. Hal itu terjadi setelah Umi Tatu pulang dari tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Sebelumnya Pipik juga ikut mengantar Umi Tatu ke Bandara Soekarno-Hatta.

*****

Makam Yang Sesuai Sunnah

Jika para pendukung Ustadz Aswan menganggap Uje pantas mendapat makam mewah, Kyai Haji Ali Mustafa Yakub, Imam besar Masjid Istiqlal, justru berpendapat sebaliknya. Beliau malah menyarankan agar marmer di makam Uje dibongkar. Hal itu kalau dilihat dari bentuk makam yang terbaik menurut pandangan Islam. Berikut kami sampaikan komentar Ustadz Ali Mustafa Yakub yang berjudul:

Ratakan Makam Uje

Ustadz Mustafa Yakub bertutur:

“Kalau menurut syariat Islam, makam yang bagus itu yang hanya pakai rumput dan tanaman lainnya. Rumput yang masih basah akan terus bertasbih untuk yang di dalam kubur. Artinya, kalau penghuni kubur sedang disiksa, tasbih rerumputan di atasnya akan meringankan siksanya. Jadi di atas makam tidak perlu dibangun cungkup dan segala macamnya.”

Kalau bangunan makam itu berdiri di atas makam pribadi, hukumnya makruh. Kalau berdiri di atas tanah wakaf, hukumnya haram. Namun hal itu tidak berlaku bagi para Nabi dan para sahabat yang mulia, termasuk Khulafaur Rasyidin. Makam mereka boleh diperindah atau dimegahkan dengan cara apapun. Mereka orang-orang pilihan yang sudah dijamin masuk surga. Namun kalau orang biasa, walaupun sangat sholeh atau sangat bertakwa, siapa yang bisa menjamin mereka langsung masuk surga? Apalagi orang awam, nanti bisa timbul kultus. Tentu ini semakin tidak baik. Kalau alasannya untuk kenyamanan para peziarah, ya cukup dirapikan atau dibersihkan. Kalau sudah telanjur dibangun cungkup di atas makam, lebih baik dibongkar atau diratakan.”

Dulu Nabi Muhammad Saw pernah berjalan di antara dua makam. Tiba-tiba beliau mematahkan dua dahan kurma, lalu menancapkannya di atas makam itu. Ketika sahabat menanyakan hal itu, Nabi Saw bilang, arwah orang di makam itu sedang disiksa karena dulu mereka buang air tidak dibersihkan dengan sempurna. Nah, dengan menancapkan dahan korma, dan selama dahan itu masih basah, diharapkan bisa mengurangi siksa kubur yang mereka alami.

Sekarang pertanyaannya, jika tetap ngotot membangun cungkup untuk makam Uje, siapa yang berdosa? Ya tentu saja yang membangun. Kalau yang sudah meninggal tidak tahu apa-apa. Bangunan di atas makam itu, selain tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, juga menyalahi Undang-Undang Perda (peraturan daerah) no 3 tahun 2007.”

Demikianlah komentar Ustadz Ali Mustafa Yakub. Sebuah komentar yang ringkas namun padat dengan nilai Sunnah. Yah, kebenaran sejati memang hanya bisa kita nilai dari kesesuaiannya dengan Sunnah Rasul atau tidak. Kalau tidak keliru, menurut info yang Penulis raih dari internet, seorang ulama atau ustadz yang lain juga berkomentar begini: “Kalau makam Uje memang dianggap istimewa oleh keluarga dan para penggemarnya, ya silahkan cari tanah sendiri atau tanah pribadi, atau bisa juga dibangun di rumah keluarganya. Tapi kalau berada di makam umum, ya jangan diperlakukan sedemikian rupa, karena hal itu bisa menimbulkan kecemburuan sosial.”

Maha Suci Allah. Luar biasa! Sungguh luar biasa perlakukan masyarakat kita terhadap makam Ustadz Jefry Al-Bukhari rahimahullah. Namun apakah beliau sendiri juga menghendaki diperlakukan seperti itu? Lantas bagaimana dengan perlakukan masyarakat kita terhadap ulama-ulama besar semacam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Jailani, Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Ahmad (Hambali)? Bagaimana pula perlakukan masyarakat kita terhadap para sahabat yang mulia semacam Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib? Atau para sahabat semacam Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Said Al-Khudri, Ubay bin Ka’ab atau Muadz bin Jabal? Bukankah beliau-beliau itu tingkat keimanan, keilmuan dan ketakwaannya jauh di atas Uje?

Kalau kita tahu beliau-beliau itu tingkat ketakwaannya di atas Uje, harusnya kita juga memperlakukan makam mereka seperti kita memperlakukan makam Uje, bahkan harusnya lebih hebat. Bagaimana pula dengan perlakukan kita terhadap makam manusia paling sholeh di mata Allah SWT? Bagaimana perlakukan kita terhadap makam Baginda kita yang mulia, Rasulullah Muhammad Saw? Benarkah makam Rasulullah Saw megah seperti makamnya Uje dan para ulama besar di Indonesia, khususnya para wali sanga yang sering diziarahi orang? Sekali lagi, kalau makam Uje saja kita perlakukan sedemikan rupa, harusnya makam Rasulullah Saw lebih kita muliakan dan kita megahkan.

Kalau ada yang beralasan, mereka (para ulama besar) tidak berada di negara kita, jadi gimana mau menziarahi makam atau memuliakan beliau-beliau itu? Jawabannya, bukankah negara kita juga melahirkan ulama-ulama besar seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan, Hadratus Syaikh Hasyim Ashari, Buya Hamka, Bey Arifin, Imam Zarkasi atau A.R Fakhrudin? Mereka ulama yang sudah beramal banyak untuk memajukan Islam, namun apakah kita juga memperlakukan makam mereka sebagaimana kita memperlakukan makam Uje? Allahu Akbar. Kita harus selalu mewaspadai kesesatan, dan salah satu bentuk kesesatan ialah terlalu berlebihan menyanjung orang sholeh. Semoga Allah selalu menjaga kita dari kesesatan Amin.

Sekarang akan kami bahas bentuk makam untuk saudara-saudara kita yang sudah dipanggil Allah SWT. Bentuk makam untuk saudara-saudara kita yang seiman itu harus yang sesuai dengan Sunnah. Dengan demikian, kalau kita ingin tahu bentuk makam yang betul itu seperti apa, kita juga harus tahu larangan-larangan terhadap makam yang Islami. Larangan-larangan itu ialah:

Menyembelih binatang ternak sebagai sesajian kepada Allah SWT.

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada sesajian di dalam Islam.” Abdurrazaq bin Hammam berkata, “Di zaman jahiliah orang-orang gemar melakukan sesajen di kuburan dengan menyembelih sapi atau kambing.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menyembelih kurban itu amalan yang dilarang mutlak.” Imam Ahmad juga berkata, “Di zaman jahiliah, apabila seseorang atau suatu kaum ditimpa kematian, mereka menyembelih domba di pemakaman, kemudian Rasulullah Saw melarangnya.”

Meninggikan makam melebihi tanah galian.

Jabir r.a berkata: “Rasulullah Saw melarang kita untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya, membangun (menambahi ketinggiannya), atau menulis di atasnya.”

Penjelasan: Secara global, mayoritas ulama membolehkan meninggikan makam, namun hanya dengan gundukan tanah, dan niatnya untuk tanda bahwa itu makam, sehingga tidak dilewati atau diinjak-injak orang.

Menulis di atasnya.

Penjelasan: Hukumnya sama dengan meninggikan makam. Sebagian ulama membolehkan memberi nama, sekedar untuk dikenali. Hal itu bentuk penafsiran dari amalan Nabi Saw yang meletakkan batu di makam Usman bin Mazh’un. Syeikh Nashiruddin Al-Bani, ulama besar dalam bidang hadits, berkata, “Yang dilakukan Rasulullah Saw (meletakkan batu) itu untuk mengenali orang yang mati. Hal itu karena luasnya kuburan atau banyaknya bebatuan di sekitar kuburan. Dalam kondisi begitu, bolehlah membuat nama di atas makam sekedar untuk mengenalinya.” Membuat bangunan di atasnya.

Duduk-duduk di atasnya.

Said Al-Khudri pernah mendengar Rasulullah Saw melarang umatnya membuat bangunan di atas makam. Dalam riwayat lain diterangkan, Nabi Saw melarang umatnya membuat bangunan di atas makam, atau duduk-duduk di atasnya, atau sholat menghadap ke arahnya. Abul Hiyaj Al-Asadi berkata, ‘Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku’: “Maukah kamu kuutus sebagaimana Rasulullah Saw mengutusku? Jangan engkau biarkan patung atau gambar-gambar (makhluk hidup), kecuali engkau musnahkan, dan jangan pula engkau biarkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan dengan tanah.”

Imam Syafi’i, imam ahli fikih yang fatwa atau pendapatnya paling banyak dianut oleh kaum Muslimin di negara kita, bertutur, “Aku melihat para penguasa menghancurkan bangunan-bangunan di atas makam, dan aku melihat ahli fikih tidak ada yang melarangnya. Hal itu karena membuat bangunan di atas makam bisa mengganggu keberadaan yang lain.” Maksudnya, makam yang terlalu mewah, yang bangunannya besar, bisa menyesakkan atau menyempitkan makam yang lain. Beliau (Imam Syafi’i) juga berkata, “Aku tidak suka melihat orang yang diagung-agungkan, sampai makamnya pun dijadikan tempat ibadah.”

Selain lima larangan di atas, Nabi Saw juga melarang kita untuk mengebumikan atau memakamkan mayat di malam hari. Hadits yang menerangkan masalah ini Insya Allah shahih, karena yang meriwayatkannya Imam Muslim, seorang ahli hadits terkemuka selain Imam Bukhari. Namun kalau keadaannya darurat atau terpaksa, mayat boleh dikubur malam hari. Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw pernah memakamkan mayat seseorang di malam hari. Saat menurunkan mayat ke liang lahat, beliau menggunakan lentera (sebagai penerang).”

Dengan demikian, jelaslah bagi kita, bahwa makam yang sesuai Sunnah itu makam yang bentuknya sederhana, yang hanya dibangun dengan gundukan tanah, namun dibedakan sedikit untuk mengenalinya. Dengan demikian, wajarlah jika ada pihak yang mendukung Pipik agar makam suami tercintanya dibongkar saja, karena yang begitu lebih sesuai dengan syariat. Sekarang pertanyaannya, apa tujuan makam Uje dimegahkan atau dibesarkan? Kalau tujuannya untuk membesarkan, menghormati atau mendoakan Uje, hal itu keliru, sebab yang akan membesarkan atau mendoakan Uje itu hanya amalan yang sudah beliau lakukan selama di dunia, juga doa dari anak dan kerabatnya.

Dalam sebuah hadits shahih yang cukup terkenal, yang Insya Allah para pembaca sudah sering mendengarnya, Nabi Saw bersabda, “Apabila anak Adam/ manusia telah wafat, seluruh amalannya terputus, kecuali tiga hal. Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak sholeh yang selalu mendoakan ortunya.”

*****

Nasehat dan Koreksi Untuk Ustadz Aswan

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk saling menasehati saudaranya dalam kebenaran dan kesabaran. Siapa pun orangnya, entah orang besar atau orang kecil, orang terkenal atau tidak, ia harus mau diberi masukan atau nasehat. Siapa pun orangnya, entah ulama atau ustadz, politikus, seniman, olahragawan, ekonom, fisikawan atau kimiawan, jika ia benar-benar ingin menjadi hamba Allah yang baik, ia harus mau diluruskan jika ia bersalah, bukannya malah marah, atau bahkan membenci pihak yang menasihatinya. Kami sebagai Penulis Kelas Coro, yang tentu ilmu dan skill-nya sangat dangkal, hanya berniat mendoakan saudara kami yang seiman, yang belum benar dalam beragama. Penulis sendiri juga memohon untuk dikoreksi, seandainya para pembaca yang budiman menemukan kesalahan Penulis di dalam naskah yang penuh cacat ini.

Untuk saudara kami, Ustadz Aswan Faisal, kakak kandung almarhum Ustadz Jefry Al-Bukhari, terimalah naskah ini sebagai bahan renungan, koreksi diri, atau apapun istilahnya. Semoga naskah ini ada manfaatnya, walaupun cuma secuil. Amin.

1. Uswan (Ustadz Aswan)* berkata:

“Ketika kami mau membangun makam Uje, kami sekeluarga, terutama si donatur marmer untuk makam almarhum, sudah membicarakan dengan Pipik. Istri almarhum itu mengaku ikhlas kalau makam suaminya dipugar. Tapi ketika bicara di media, dia seperti tidak atau belum rela. Ini kan aneh. Ini yang saya bilang ke media kalau dia tidak memberi edukasi atau pendidikan.”

*Catatan Kaki: Kami tidak berniat apapun, kecuali hanya meringkas, sehingga lebih mudah untuk disebutkan, sebagaimana Ustadz Jefri diringkas menjadi Uje, Abdullah Gymnastiar menjadi AA Gym, dll.

Komentar dan Koreksi:

Mungkin donatur marmer yang kalau tidak salah bernama Pak Didit itu sudah bilang pada Pipik, tapi mungkin Pipik belum tahu kalau pemugaran makam suaminya dilakukan secepat itu. Menurut info yang Penulis raih dari internet (Youtube-Google), Pipik tahunya pemugaran makam Uje akan dilakukan setahun setelah Uje wafat. Nah, mungkin ini yang membuat Pipik terkejut melihat makam Uje sudah berubah total. Mungkin ini yang membuat Pipik kecewa, dan akhirnya mengakui keberatannya di media masa.

Uswan berkata:

“Pipik bilang, makam jangan dibangun dengan ubin. Allah tidak suka hal-hal yang terlalu mewah. Harusnya jangan diartikan seperti itu. Kalau kita berziarah ke makam wali besar, makam tersebut pasti rapi. Hal itu bukan untuk si wali, tapi untuk para peziarah agar bisa duduk dan berdoa dengan nyaman.”

Komentar dan Koreksi:

Kalau niatnya mau menyamankan para peziarah, kan bisa dibuat yang sederhana saja, tidak usah yang megah-megah, yang tentunya membutuhkan biaya banyak. Makam yang diziarahi cukup dibersihkan dan diberi fasilitas sekedarnya. Lagipula, nyaman atau tidak itu relatif, tergantung setiap individu. Yang harus kita ketahui: Kalau makam menjadi mewah, nanti dikuatirkan bisa dijadikan tempat ibadah, perayaan, pesugihan dan sejenisnya. Padahal Nabi Saw telah melarang kita beribadah di kuburan. Yang boleh kita kerjakan di kuburan hanya satu: Mendoakan Arwah Si Mayat.

Uswan berkata:

“Kemarin ada tenda di makam Uje. Hal itu juga diprotes. Katanya Uje sudah tidak perlu tenda lagi. Uje sudah mendapat balasan yang sesuai dengan amalan yang ia tebar. Padahal keberadaan tenda itu bukan menunjukkan Uje ingin bermewah-mewah. Keberadaan tenda itu bukan menunjukkan Uje tidak tawadhu atau rendah hati. Misalkan Uje pernah bilang kalau makamnya kelak dibuat yang sederhana saja, hanya berupa gundukan tanah dengan rerumputan hijau di atasnya, itu tidak bisa langsung kita artikan sebagai amanah beliau. Itu hanya menunjukkan sifat rendah hati beliau.”



Komentar dan Koreksi:

Mungkin Uje tidak pernah beramanat kalau makamnya kelak sederhana saja, hanya berupa gundukan tanah yang dihiasi rerumputan hijau. Tapi Uswan sebagai kakak kandungnya, yang tentunya juga mencintai Uje sebagaimana Pipik mencintai Uje, harusnya mengerjakan apa yang menjadi keinginan sang adik tercinta. Kalau kita mau beramal sholeh atau berbuat baik, kita tidak cukup hanya mengandalkan niat. Niat dan cara, teori dan praktek, harus sama. Mungkin niat Uswan mempermegah makam Uje untuk menyenangkan arwah Uje, tapi Uje sendiri belum tentu senang atau ridho dengan bentuk makamnya sekarang. Apalagi bentuk makamnya sekarang belum tentu sesuai dengan perintah syariat.

Uswan berkata:

“Sekarang kalau masalah ini semakin diperpanjang, orang-orang Kesultanan Banten sudah siap untuk memindah makam Uje ke komplek pemakaman Kesultanan Banten. Bahkan pengasuh pondok pesantren Assidiqiah pun siap melakukan hal yang sama. Mereka akan membangun kubah agar peziarah bisa tenang saat berkunjung, tenang saat berdzikir dan berdoa. Selain itu, pengasuh pengajian Nurul Mustopa juga mendukung agar makam Uje tetap seperti itu. Malam-malam beliau datang ke makam. Sebagai bentuk dukungan agar makam tidak dibongkar, beliau dan puluhan ribu jamaahnya siap melakukan ziarah kubro.”

Komentar dan Koreksi:

Banyaknya orang dalam melakukan sesuatu itu belum tentu benar. Kualitas atau mutu jelas lebih tinggi dari kuantitas atau jumlah. Pelaku kebaikan dan kebenaran itu lebih sedikit dari pelaku keburukan dan kesesatan. Kita ambil contoh, ada 20 orang sholat berjamaah di masjid. Dari 20 orang itu, yang sholatnya benar-benar sudah bagus, benar-benar sudah sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Saw, mungkin hanya 8 orang. Dari 8 orang itu, yang sholatnya benar-benar berdampak di akhlak sehari-harinya, mungkin hanya 2 orang, dan seterusnya. Dengan demikian, banyaknya orang yang mendukung makam Uje yang megah itu belum tentu benar.

Terus ada seorang ustadz pengasuh pengajian Nurul Mustopa. Beliau datang ke makam malam-malam. Ini sudah salah. Kita dilarang ke makam malam-malam, kecuali keadaan darurat, sebagaimana hadits Nabi yang melarang kita mengubur mayat malam-malam, kecuali karena terpaksa. Di halaman depan sudah kita bahas, bahwa Ibnu Abbas berkata:

“Rasulullah Saw pernah memakamkan mayat seseorang di malam hari. Saat menurunkan mayat ke liang lahat, beliau menggunakan lentera (sebagai penerang).”

Lalu ziarah kubro atau ziarah besar. Ini maksudnya apa? buat apa? mana dalil yang menunjukkan hal itu? Sekali lagi kami tegaskan, banyaknya orang dalam melakukan sesuatu itu belum tentu benar.

Selanjutnya, kami akan menyampaikan komentar Uswan yang kami dapat dari internet (youtube-Google). Ketika itu Uswan sedang berdiri di hadapan ratusan, bahkan mungkin ribuan peziarah Uje. Ia berdiri di samping makam sang adik, lalu berseru kepada para hadirin, “Bapak Ibu sekalian..kira-kira makam seperti ini bagus tidak!?”

“Baguuuss!!” seru para hadirin serentak. Uswan bicara lagi, “Jadi tolong pertahankan makam almarhum. Setujuu!?”

Para hadirin kembali menyahut, “SETUJUUU!!!”

Uswan bicara lagi, “Bapak Ibu semuanya datang ke sini atas keinginan sendiri kan? bukan saya yang suruh!?”

“BUKAAAN!!!”

Uswan berkata lagi, “Kami mendapat pesan dan amanat dari para ulama, para kyai dan habaib. Mereka berpesan, dilarang mengutak-atik makam orang sholeh! Mereka ditinggikan seperti ini oleh Allah, bukan oleh manusia! Allahu Akbar!”

Para hadirin pun ikut menyeru, “Allahu Akbar!”

Uswan melanjutkan, “Kami mengetuk hatimu, wahai para Ibu! Gimana perasaanmu seandainya makam anakmu diganggu dan diutak-atik!? Gimana perasaanmu seandainya makam anakmu dibiarkan kotor dan tidak terawat!?”

Ketika pembicaraan sampai di tenda untuk makam, Uswan kembali berkata dengan lantang, “Jangankan tenda..kalau perlu dikasih kubah sekalian! Tidak apa-apa! Halal!”

Sekarang kami akan melanjutkan komentar, masukan, nasehat atau apapun istilahnya, terhadap ucapan Ustadz Aswan di atas. Kalimat pertama, “Bapak Ibu sekalian...kira-kira makam seperti ini bagus tidak!?”

Komentar dan Koreksi: Tolok ukur kebenaran itu bukan dilihat dari bagus atau tidak, indah atau jelek, mewah atau sederhana, tapi dilihat dari kesamaannya dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Jika yang dilakukan seseorang atau kelompok itu memang ada di Al-Quran maupun As-Sunnah, berarti mereka sudah bertindak baik dan benar. Pertanyaannya, benarkah Rasulullah Saw pernah memerintahkan kita untuk membangun makam yang megah? Kalau perintah itu memang ada, tentu para sahabat yang mulia dan para ulama besar terdahulu sudah mendahului kita.

Kalimat Kedua, “Kami mendapat pesan dan amanat dari para ulama, para kyai dan habaib. Mereka berpesan, dilarang mengutak-atik makam orang sholeh! Mereka ditinggikan seperti ini oleh Allah, bukan oleh manusia!”

Komentar dan Koreksi: Para ulama, kyai atau habaib itu manusia biasa yang bisa salah. Jika pendapat mereka sesuai dengan Sunnah Rasul, ya kita ikuti dan kita teladani. Tapi jika pendapat mereka menyimpang dari dalil-dalil Quran dan Hadits, ya jangan kita ikuti. Lalu tentang seseorang yang ditinggikan atau dinaikkan derajatnya oleh Allah. Siapapun orangnya, jika ia beriman dan bertakwa, derajatnya akan diangkat oleh Allah SWT. Seseorang bisa dikatakan sholeh atau bertakwa itu kalau ibadah dan akhlak sehari-harinya sudah sesuai dengan Sunnah. Jadi kalau ada orang membangun makam yang tidak sesuai dengan Sunnah, apakah ia akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT? Tentu saja tidak. Seperti yang sudah kami terangkan di bab depan, beribadah itu selain harus ikhlas, tata caranya juga harus mengikuti Nabi Saw.

Kalimat Ketiga, “Kami mengetuk hatimu, wahai para Ibu! Gimana perasaanmu seandainya makam anakmu diganggu dan diutak-atik!? Gimana perasaanmu seandainya makam anakmu dibiarkan kotor dan tidak terawat!?”

Komentar dan Koreksi: Tentu tidak ada seorang ibu pun yang menginginkan makam anaknya, baik anak lelaki maupun perempuan, diutak-atik. Kecuali ibu tersebut tidak waras. Tidak ada satu pun orang tua yang menginginkan anaknya sengsara, kecuali orang tua yang tidak normal. Tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya, makam yang sudah dibangun sedemikian rupa itu sesuai dengan Sunnah atau tidak? Kalimat Keempat, “Jangankan tenda..kalau perlu dikasih kubah sekalian! Tidak apa-apa! Halal!” Komentar dan Koreksi: Inilah contoh ucapan yang tidak berdasarkan dalil. Inilah ucapan yang hanya berdasarkan ego dan nafsu amarah. Bagaimana mungkin makam halal diberi kubah, sementara yang lebih kecil atau lebih pendek dari kubah saja sudah dilarang oleh Rasul. Duhai Ustadz Aswan, kakak tertua Almarhum Ustadz Jefry, kalau antum ada waktu, sempatkan diri antum untuk membuka buku tentang; ‘Mengurus Jenazah’ karya Muhadits atau ahli hadits besar, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani Rahimahullah. Di buku itu anda bisa menemukan hadits shahih yang telah kami kemukakan di depan. Hadits tersebut berbunyi:

“Janganlah kalian membangun di atas makam, atau duduk di atasnya, atau sholat menghadapnya.”

Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib R.A yang berkata: “Maukah kamu kuutus sebagaimana Nabi Saw mengutusku? Janganlah kamu biarkan patung atau gambar-gambar (makhluk hidup) kecuali kamu hapus, dan jangan pula kamu biarkan kuburan yang tinggi (ditambahi bangunan dan semacamnya) kecuali kamu ratakan dengan tanah.”

***** 

Nabi Isa dan Syeikh Abdul Qadir Jailani

Sebagaimana yang sudah kami bahas dalam bab: ‘Jangan Berlebihan,’ Rasulullah Saw mengingatkan umatnya untuk tidak berlebihan dalam menyanjung dan menghormati beliau. Dalam sebuah hadits shahih, Nabi Saw bersabda, “Janganlah kalian berlebihan memujiku seperti kaum Nasrani yang terlalu berlebihan menyanjung Isa bin Maryam. Aku ini hanya seorang hamba. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Umat Nasrani terlalu berlebihan menyanjung Isa bin Maryam, sehingga menjadikan beliau sebagai Tuhan. Hampir sama dengan Fir’aun yang menganggap dirinya Tuhan. Bedanya, Fir’aun menganggap dirinya Tuhan, dan ia meminta seluruh pengikutnya untuk menyembahnya. Sedangkan Nabi Isa ‘Alaihissalam tidak pernah sedikit pun menganggap dirinya Tuhan. Hanya umat atau pengikutnya yang menganggap dirinya Sang Pencipta.

Begitu pula dengan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ulama besar yang masih punya garis keturunan dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau dianggap sebagai wali yang memiliki segudang pengalaman ghaib atau mistis, khususnya bagi orang-orang sufi dan Islam Tradisional. Beliau yang dijuluki Sang Ghauts (wali), dianggap sebagai pelopor atau perintis ajaran tarekat (tasawuf). Di Indonesia telah berkembang segala jenis tarekat. Ada Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Syattariah, Tarekat Khalwatiah, Tarekat Rafai, dan lain-lain.

Disamping itu, orang-orang Sufi dan Islam Tradisional sering mengutamakan pengalaman-pengalaman ghaib Syeikh Abdul Qadir, padahal pengalaman-pengalaman yang beliau alami itu riwayatnya belum tentu shahih. Kita ambil contoh, suatu ketika Abdul Qadir pernah bertemu sosok yang mengaku Malaikat Jibril. Beliau yang jiwanya suci, langsung bisa mengetahui kalau sosok di hadapannya itu hanya iblis pembohong. Beliau mengambil sandalnya, kemudian melemparkannya ke iblis yang mengaku malaikat itu. Beliau berkata, “Aku bisa tahu kamu cuma iblis pembohong karena Malaikat Jibril itu hanya datang kepada Rasulullah Saw.”

Dalam kisah lain, ketika Sang Ghauts sedang berada di rimba belantara, ia melihat sosok terang di cakrawala. Sosok misterius itu muncul setelah Abdul Qadir meminum air hujan karena kehausan. Sosok misterius itu seolah yang memberinya hujan. Karena merasa sudah berjasa, sosok aneh itu berkata, “Akulah Tuhanmu. Kini kuhalalkan bagimu segala yang haram.”

Abdul Qadir menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan iblis yang terkutuk!”

Sosok yang ternyata itu iblis langsung berubah menjadi awan, lalu berkata, “Dengan rahmat Allah dan ilmumu, kamu selamat dari perangkapku.”

Lalu iblis bertanya, bagaimana Sang Syaikh bisa tahu kalau ia iblis? Sang Syaikh menjawab, ia bisa tahu dari kalimat iblis yang berbunyi: ‘Menghalalkan yang haram.’ Ucapan seperti ini jelas bukan dari Allah SWT. Inilah beberapa kisah mistis yang dialami Abdul Qadir ketika ia sedang menuntut ilmu, dan masih ada lagi kisah-kisah serupa yang dialami Sang Wali. Nah, kisah-kisah mistis seperti inilah yang sering dibesar-besarkan atau ditonjolkan oleh kaum Sufi dan Islam Tradisional. Penulis tidak memvonis kisah di atas cuma fiktif atau khayal, namun Penulis juga belum yakin kalau kisah di atas benar-benar dialami Syaikh Abdul Qadir. Hal ini Penulis ketahui dari: ‘Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Jailani,’ karya Dr. Said bin Musfir Al-Qathhani.

Selain itu, ketika kaum Islam Tradisional mengadakan acara selamatan atau kenduri atau tahlilan, ada di antara mereka yang mengucapkan shalawat kepada Syaikh Abdul Qadir sebagaimana mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw. Mereka merasa berdosa jika tidak menyertakan nama Sang Syaikh. Mereka menganggap arwah beliau bisa dijadikan perantara untuk terkabulnya doa mereka. Hal itu karena mereka menganggap beliau tahu banyak hal ghaib. Tentu saja semua ini tidak tepat karena beliau termasuk ulama besar yang akidahnya lurus. Beliau termasuk ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah, ulama yang betul-betul berusaha mengikuti ajaran Islam yang semurni-murninya.

Lalu mengenai julukan Sang Ghauts yang disandang beliau, sebagian ulama menganggap hal itu tidak berlebihan, sebagaimana Imam Al-Ghazali yang dijuluki Hujjatul Islam, atau Ibnu Taimiyah yang dijuluki Syaikhul Islam. Secara bahasa, Ghauts artinya bantuan, penyelamat di tengah-tengah badai kesulitan. Ghauts berarti wali atau sosok yang menjadi perantara pada saat kritis, dimana suatu bangsa atau wilayah akan dihukum karena dosa penduduknya. Berkat kehadiran para waliyullah itu, ampunan dan rahmat Allah melimpahi bangsa mereka. Berkat doa para waliyullah itu, azab Allah yang siap menghujam bangsa mereka menjadi lenyap, berkurang atau tertunda.

Keistimewaan ini menyerupai kepribadian Baginda kita yang mulia, Rasulullah Muhammad Saw. Hati beliau meleleh bila melihat bencana dan penderitaan yang menimpa umat manusia, khususnya umat Islam. Berkat doa beliau yang makbul (dikabulkan), azab Allah yang semula akan turun, berubah menjadi rahmat untuk umat manusia. Jadi para Ghauts atau Wali itu bisa dikatakan pakar ruhaniah di tengah masyarakatnya yang mengalami kerusakan moral.

Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Syaikh Abdul Qadir hampir bernasib sama dengan Nabi Isa bin Maryam. Ulama kelahiran Jailan, Irak itu dilebihi-lebihkan oleh para pengikutnya sendiri. Ajaran beliau yang sebenarnya murni dari Al-Quran dan As-Sunnah, diselewengkan atau disesatkan oleh para pengikutnya sendiri. Dalam buku putihnya Sang Syaikh, buku karya Dr. Said bin Musfir Al-Qahthani, kita dapat mengetahui pemahaman beliau tentang Islam yang amat dalam. Memang ada beberapa ajaran beliau yang agak berlebihan, sehingga tidak sesuai dengan Quran-Hadits, namun hal itu hanya sedikit, dan itu wajar karena beliau tetap manusia biasa, walaupun seorang ulama besar.

Lantas bagaimana dengan perlakukan, penghormatan atau penyanjungan masyarakat kita terhadap almarhum Ustadz Jefry Al-Bukhari? Sudah berlebihan atau masih wajar? Kalau sudah berlebihan, berarti kita wajib kuatir dan koreksi diri. Kalau sudah berlebihan, nanti dikuatirkan Uje bisa menjadi sosok yang dikultuskan atau disakralkan. Kalau sudah berlebihan, nanti dikuatirkan Uje akan dianggap sosok wali yang sejajar dengan para Nabi atau para sahabat. Kalau sudah berlebihan, tidak menutup kemungkinan Sang Ustadz Gaul akan bernasib sama dengan Nabi Isa atau Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Karena itulah wahai masyarakat Indonesia, khususnya bagi para penggemar beratnya Ustadz Jefry yang semoga selalu dirahmati Allah, janganlah anda semua berlebihan dalam menyanjung ustadz ganteng bersuara indah itu. Beliau sudah khusnul Khatimah. Buktinya? Beliau meninggal di hari Jumat dini hari. Jadi Insya Allah beliau sekarang sudah tenang di alamnya. Namun ketenangan beliau bisa terganggu oleh sikap berlebihan para murid, jamaah atau penggemarnya. Perhatikan sabda Nabi Saw yang berbunyi, “Jauhilah sikap berlebihan, karena tidaklah orang-orang sebelum kalian binasa kecuali karena sikap berlebihan mereka dalam agama.” Semoga Allah selalu menjaga kita dari sikap ghuluw atau berlebihan. Amin.

*****
bersambung .... BAB LIMA

0 comments:

Post a Comment

 
;